Saturday, April 16, 2011

analisis dua novel sastra populer indonesia - jerman

Gege mencari Cinta dan Soloalbum

Pendahuluan
Budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass culture) adalah gambaran dari dua kesenjangan yang terjadi di dalam suatu bingkai kebudayaan. Begitu juga dalam dunia sastra, ada pertentangan antara "sastra tinggi" dan "sastra rendah". Kedua istilah ini dalam sastra digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara bentuk-bentuk sastra yang dianggap mempunyai nilai-nilai "luhur" (indah, suci, serius, mulia, tinggi) dan yang mempunyai nilai-nilai "bawah" (rendah, buruk, asal jadi, instan).
Perkembangan industrialisasi berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya "sastra massa" atau "sastra populer", yaitu bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika, dan selera orang kebanyakan. Sastra jenis ini menjadi bagian dari "industri budaya", yang diproduksi untuk massa yang luas. Sehingga ada semacam proses "kapitalisasi", ketika media sastra dengan sengaja atau tak disengaja menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Perkembangan bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa, dan konsumsi massa ini telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian, penilaian, dan penyaringan karya sastra dan menimbulkan berbagai kontradiksi antara standarisasi penilaian sastra sebagaimana dikembangkan lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, kritikus) dan model konsumsi, pembacaan dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yang "baik" dan yang "buruk".
Hal ini dapat kita lihat dalam karya-karya novel sastra yang banyak beredar di toko-toko buku sekarang telah didominasi oleh karya anak-anak muda dalam bentuk Teenlit dan chicklit. Teenlit dan chicklit ini merupakan sebagian contoh dari sastra populer saat ini yang banyak kita temui. Proses penciptaan karya-karya ini merupakan bagian dari industrialisasi sastra, karena diciptakan hanya untuk memenuhi selera massa.
Oleh karena itu, dalam makalah saya ini saya mencoba untuk menganalisis bagaimana karakter dan perkembangan sastra populer di dua Negara yang berbeda, yaitu Indonesia dan Jerman, yang ditunjukkan melalui dua dari hasil karya penulis-penulis yang masih muda dan sama enerjiknya, yang berjudul Gege Mencari Cinta (karya Adhitya Mulya) dan Soloalbum (karya Benjamin Stuckrad-Barre).

Sinopsis Gege Mencari Cinta (GMC)
Novel kedua dari Adhitya Mulya ini bergenre romantis nan lucu. Novel ini berceritakan tentang sosok seorang pemuda yang bernama Gege yang dihadapkan pada sebuah pilihan sulit antara untuk memilih gadis yang dia cintai atau gadis yang mencintainya.
Gege adalah seorang penyiar radio yang jatuh cinta dengan Caca, temannya sewaktu SMP. Hasrat cinta itu telah dia pendam sejak SMP. Bahkan saking cintanya hingga dia berusia 27 tahun dia tidak pernah jatuh cinta pada gadis lain demi Caca. Sedangkan teman sekantornya, Tia, ternyata jatuh cinta dengan dia. Akan tetapi Gege tidak mengetahui hal itu. Setelah mengetahui bahwa Gege ternyata sedang mengejar cinta Caca, tidak membuat Tia patah arang untuk mengejar Gege. Aksi kejar-kejaran inilah yang terjadi dalam novel ini. Hingga klimaksnya terjadi pada saat di bandara, pada saat Gege mengejar Caca yang hendak pergi ke Singapura dan Tia mengejar Gege yang hendak menggapai cintanya. Tapi pada akhirnya Gege tidak mendapatkan cintanya karena semenjak Caca berangkat ke luar negeri mereka tidak pernah berhubungan lagi dan Tia ternyata malah bertunangan dengan lelaki lain setahun kemudian pada saat Gege meluncurkan buku terbarunya.

Analisis
Untuk melihat keorisinalitasan karya-karya ini, maka saya akan mencoba menganalisisnya berdasarkan unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra yaitu tema, latar, dan alur. Kedua novel ini sama-sama diciptakan oleh penulis-penulis yang masih muda. Gege Mencari Cinta (GMC) ditulis oleh Adhitya Mulya dan diterbitkan pada tahun 2004. Pada saat novel ini diterbitkan dia berusia 27 Tahun , sedangkan Stuckrad-Barre menulis novelnya tersebut pada tahun 1998 saat dia berusia 23 tahun . Dari kedua fakta diatas dapat dilihat bahwa kedua penulis tersebut memiliki kesamaan motif dalam menulis karya-karyanya tersebut, yaitu dengan menujukan karyanya tersebut untuk memenuhi selera golongan anak muda yang sebaya atau bahkan bisa juga lebih muda dari mereka. Materi cerita yang disampaikan pun relative sama, yaitu seputar cinta yang menjadi tema yang hangat di kalangan anak muda.
Jika dilihat dari judulnya, kedua novel tersebut memiliki makna tersendiri bagi penulisnya. GMC memilik arti secara harafiah yang sesuai dengan isi novel tersebut, yaitu ketika Gege memang sedang mengejar cintanya dengan penuh perjuangan. Tidak ada unsur kiasan dalam judul tersebut. Sedangkan jika melihat judul Soloalbum kita pasti akan mereferensikannya dengan dunia musik. Penggunaan kata album sendiri sebagai judul novel ini tidak terlepas dari isi dan judul lagu-lagu grup band Oasis yang memiliki kesamaan tema dengan apa yang sedang dialami oleh ich sehingga ich menidentikkannya sebagai album.
Latar yang digunakan dalam novel GMC adalah tempat-tempat yang memang ada pada kenyataan, seperti SMP 19 Jakarta, Stasiun Radio, Plaza Senayan dan jalanan dari hingga menuju Bandar udara Soekarno-Hatta. Semuanya diungkapkan secara detail seperti layaknya kita membaca artikel koran. Sedangkan pada soloalbum tidak begitu jelas latarnya. Tetapi pada beberapa bagian cerita berlatar di sebuah rumah.
Alur yang digunakan dalam kedua novel itu juga sama, yaitu maju mundur. GMC diawali dengan adanya Flashback masa dia SMP dan kemudian diakhri dengan pertemuan pada acara peluncuran buku di kafe. Dalam proses itu sesekali penulis melakukan flashback ke masa lalu Gege. Begitu juga dengan novel Soloalbum,memang ceritanya mengalir begitu aja ke depan, tetapi sesekali penulis juga Flashback ke belakang.
Dari sisi penokohan, pada novel soloalbum terlihat jelas sekali peranan tokoh ich sebagi tokoh utama dengan menggunakan sudut pandang ich-erzaehler. Mulai dari awal hingga akhir cerita ich menguasai jalannya cerita. Tokoh-tokoh lain seperti gadis-gadis yang ich cintai, hanya sebatas sebagai tokoh bawahan. Dalam novel ini terlihat jelas bagaimana karakter ich yang jauh dari kesan hero. ich tidak mampu menyelesaikan masalahnya dan hanya menjadi pecundang karena dia hanya semakin larut dalam ketidakbedayaannya menggapai wanita yang dicintainya. Sedangkan dalam novel GMC penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tokoh utama dalam Novel ini adalah Gege yang menjadi pusat dari cerita novel tersebut. Gege digambarkan sebagai anti-hero pada cerita novel ini. Gege adalah sosok anak muda yang sangat mencintai seorang gadis bernama Caca, namun di sisi lain ada gadis lain yang mencintainya, Tia. Tetapi pada akhirnya dia tidak mendapatkan apapun, karena gadis yang dicintainya menghilang, sementara gadis yang mencintainya tunangan dengan pria lain.
Dari segi gaya bahasa, penulis GMC memiliki gaya tersendiri khas gaya penulis-penulis muda di Indonesia. Aditya Mulya menulis novel ini memang telah melanggar kaidah penggunaan ragam bahasa yang baik dan benar. Dia menggunakan campuran antara bahasa Indonesia yang baku dengan bahasa sehari-hari di Jakarta dan bahasa Jawa dalam karyanya ini. Selain itu, didalam novel tersebut dia juga menggunakan footnote sebanyak 67 buah, yang menurut saya footnote itu hanya semakin membuat saya pusing membacanya, karena isi footnote itu dalam bahasa inggris yang tidak jelas ada hubungannya dengan kata yang difootnote tersebut. Ini memang telah jelas melanggar kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena Footnote seharusnya digunakan untuk membantu pembaca mengerti, bukannya malah membuat pembaca bingung. Sedangkan Stuckrad-Barre sebenarnya menulis novelnya tersebut dengan menggunakan bahasa Jerman yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam novel itu dia menyisipkan kata-kata seks yang mengundang kontroversi di kalangan kritikus di Jerman. Selain itu, dari penggunaan tanda bahasa, seperti tanda seeorang sedang berbicara, dia menggunakan tanda -, yang berbeda dengan gaya Adhitya Mulya yang menggunakan tanda “ untuk menunjukkan seseorang sedang berbicara.
Dari penyimpangan gaya bahasa yang saya jelaskan diatas, menunjukkan bahwa kedua novel ini adalah karya sastra popular. Para penulis kedua novel itu telah melanggar kaidah bahasa Indonesia dan bahasa Jerman yang baku. Akan tetapi dibalik penyimpangan itu semua, para penulis memiliki alasan tersendiri menggunakannya, yaitu untuk memenuhi nilai estetik dalam novelnya tersebut demi menarik minat pembaca sesuai dengan seleranya. Hal inilah yang menggolongkan karya mereka sebagai sastra popular. Mereka berkarya hanya demi selera pembaca tanpa memperdulikan apakah karyanya tesenut telah melanggar kaidah-kaidah yang berlaku atau tidak. “Popularitas" adalah motif utama budaya populer, penulis harus mencari cara untuk mendapatkannya. Salah satu cara yang biasa digunakan adalah dengan menyesuaikan diri dengan selera dan tingkat pemahaman massa, seperti yang terjadi pada kedua novel di atas. Sastra populer cenderung melakukan berbagai bentuk penyederhanaan, reduksi kultural, manipulasi pikiran ke arah imajinasi-imajinasi populer (tentang kecantikan, kesempurnaan, kehidupan utopis), tanpa didukung argumentasi logis sehingga tidak membangun massa (pembaca) yang kritis.

No comments:

Post a Comment