Thursday, May 26, 2011

kasus ham mei 1998

Kasus HAM Mei 1998
Sepuluh tahun sudah tragedi Semanggi berlalu tanpa ada kepastian hukum. Saat ini kembali bangsa Indonesia memperingati momentum Mei berdarah, yang telah melahirkan pahlawan reformasi. Namun banyak orang sudah mulai lupa makna di balik pejuangan paramahasiswa tersebut. Belum adanya titik terang kasus Trisakti-Semanggi sangat erat hubungannya dengan pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji bahwa pihaknya kesulitan menangani kasus Trisakti sebagai pelanggaran berat HAM (JawaPos, 13/05/2007). Tragedi Semanggi yang dikategorikan termasuk Pelanggaran HAM berat, menjadi banyak tanda tanya dimasyarakat. Oleh karena itu tim penyusun makalah akan membahas lebih lanjut mengenai Tragedi Semanggi itu sendiri, Kejahatan Berat, kaitannya dengan HAM dan penanganan dari pemerintah sendiri.
Perjuangan Orde Reformasi dimulai dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997. Dengan dipelopori mahasiswa, rakyat Indonesia mulai melawan ketidak adilan yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru dan memperjuangkan demokratisasi di Indonesia.
Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan harapan bahwa demokratisasi telah dimulai. Namun patut disayangkan bahwa krisis ekonomi sejaktahun 1997 belum membaik. Begitu juga permasalahan penegakan hukum, keadilan, dan kepastian hukum yang masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, terjadi beberapa kali kesalah pahaman / bentrokan antara mahasiswa dan masyarakat dengan aparat pemerintah baik TNI maupun Polri serta terjadi peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kesalah pahaman dan bentrokan yang terjadi telah mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak mahasiswa serta masyarakat maupun TNI / Polri. Peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat antara lain peristiwa Trisakti dan Semanggi I & II. Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru. Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command responsibility). Secara konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dibawah pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukantindakan apapun terhadap pasukan dibawah pengendaliannya (by ommission). Pertanggungjawaban karena pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenangagar dilakukan penyelidikan.
Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I danII ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun sehubungan dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan keadilan bagikeluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakatipembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti,Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNASHAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001. Penanganan dan penyelesaian kasus Trisakti-Semanggi tidak pernah mendapatkankepastian hukum. Sepertinya keberadaan UU HAM, Komnas HAM, dan KPP HAM tidakberdaya mengungkap tragedi kemanusiaan tersebut. Ironisnya justru memunculkanperbedaan pendapat. Apakah tragedi berdarah ini termasuk pelanggaran HAM berat ataubukan. Sebenarnya ada apa dengan aparat penegak hukum kita.
Di Indonesia, hukum seperti apa yang dalam pelaksanaannya dapat mewujudkanpenegakan hak-hak manusia. Tentunya hukum yang benar-benar ditegakkan tanpa harusdiwarnai dengan carut-marut dunia politik. Bahkan dalam rangka melaksanakannyadiperlukan orang-orang yang berani menentang arus. Atau mungkin orang yang telah putussyaraf takutnya menghadapi kedikdayaan penguasa.Demi kaum yang lemah.
Semangat negara hukum yang dianut Indonesia bukan hanya sekedar angan. Tetapi,merupakan pernyataan yang harus selalu menjadi acuan. Mengingat di dalamnyaterkandung rasa hukum, kesadaran hukum, dan aspek keadilan.Dalam pelaksanaannyapenegakan HAM memang bukan hal yang mudah, meskipun sudah ada dasarkonstitusional. Hal itu disebabkan masih adanya kendala yang terus-menerus membayangipelaksanaan HAM. Kendala pertama adalah kendala teknis-prosedural, yang menyangkutpembuktian secara hukum dan ketersediaan aturan hukum. Kedua, kendala politis yangditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melaluipengadilan (Moh. Mahfud MD, 2000).
Dalam rangka penegakan HAM pergeseran konsep negara hukum rawan terjadi.Terdapat pembenaran secara konstitusional berupa undang-undang atau peraturanperundang-undangan. Akibatnya negara hanya akan menjadi negara undang-undang. Saratditunggangi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu selayaknya
Indonesia segera menghindar dari kondisi sekedar mengkambinghitamkan UU sebagai
alasan dasar kegagalan pengusutan pelanggaran dan kejahatan.
Dalam rangka mencari jalan keluar dari masalah Trisakti-Semanggi bukan tidakmungkin panitia ad hoc HAM dibentuk. Bukankah di dalam hukum sendiri terdapatadagium yang diterima sebagai prinsip yakni salus populi suprema lex yang berartikeselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.
Setiap tindakan dalam rangka menyelamatkan rakyat serta keutuhan bangsa harusdilakukan oleh negara. Karena tindakan penyelamatan merupakan hukum yang lebih tinggidari hukum-hukum yang telah ada. Asalkan alasan-alasannya bisa diterima oleh rakyat danbukan merupakan tindakan sepihak oleh penguasa.
Bagaimana mungkin tragedi Trisakti-Semanggi yang jelas-jelas telah menyebabkan hilangnya nyawa orang, bisa bebas dari upaya hukum. Apapun kendalanya dan tingkatkesulitannya tidak menjadi alasan untuk putus asa mengungkap tabir kejahatan pelanggarHAM.
Upaya memetieskan suatu tindakan pelanggaran memang bisa ditempuh sebagaialternatif terakhir ketika pelanggaran yang terjadi dianggap sudah terlalu lama berlalu. Itupun dengan prasyarat pada saat itu belum ada peraturan yang berlaku. Sedangkan peraturanyang ada tidak berlaku surut. Namun, bukan berarti kita sebagai orang yang pernahmemetik hasil dari upaya para pendahulu bisa berdiam diri. Penegakan hukum harus terusdilakukan.
Tragedi Trisakti-Semanggi mungkin telah menjadi sejarah. Namun jangan sampaipenegakan hukum di Indonesia juga hanya menjadi cerita masa lalu. Jangan sampai suatutindakan pelanggaran terlepas dari kaca mata hukum hanya karena tertutup oleh isu-isuyang sedang hangat beredar atau adanya kepentingan tertentu. Aparat penegak hukum harusterus melebarkan sayapnya demi mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Itu tugasyang jelas diamanatkan pada mereka.


No comments:

Post a Comment